Benni Setiawan Soroti Dampak Kebijakan Baru 21 Cineplex Terhadap Film Lokal

Sutradara dan penulis skenario kenamaan, Benni Setiawan, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap langkah-langkah terbaru yang diambil oleh jaringan bioskop besar seperti 21 Cineplex. Menurut Benni, kebijakan-kebijakan ini, meskipun mungkin ditujukan untuk adaptasi pasar, berpotensi memberikan dampak signifikan, terutama bagi keberlangsungan dan perkembangan film lokal di Indonesia.

Dalam beberapa kesempatan, 21 Cineplex memang telah melakukan berbagai penyesuaian, mulai dari harga tiket, durasi penayangan, hingga skema bagi hasil. Langkah-langkah ini seringkali dijustifikasi sebagai respons terhadap dinamika pasar pasca-pandemi atau sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi operasional. Namun, bagi para pembuat film, terutama yang independen atau memiliki skala produksi lebih kecil, perubahan ini bisa menjadi tantangan berat.

Benni Setiawan secara spesifik menyoroti bagaimana durasi penayangan film yang semakin pendek di bioskop dapat membatasi potensi pendapatan bagi film lokal. “Jika sebuah film hanya mendapat jatah tayang satu atau dua minggu, sangat sulit bagi film tersebut untuk membangun momentum dan menarik penonton yang lebih luas,” ujarnya. Padahal, seringkali film lokal membutuhkan waktu lebih lama untuk dikenal publik melalui word-of-mouth.

Selain itu, skema bagi hasil yang diterapkan juga menjadi perhatian Benni. Ia menganggap bahwa proporsi yang cenderung menguntungkan pihak eksibitor dapat menekan margin keuntungan produser dan investor film. “Dengan biaya produksi yang tidak sedikit, dan promosi yang juga butuh dana besar, jika porsi bagi hasil tidak adil, bagaimana produser bisa kembali modal dan melanjutkan produksi film-film berkualitas lainnya?” kritiknya.

Situasi ini, menurut Benni, bisa menciptakan siklus negatif. Produser enggan mengambil risiko untuk proyek film yang lebih eksperimental atau niche karena potensi kerugian yang besar. Akibatnya, keberagaman genre dan cerita dalam film Indonesia bisa terancam, yang pada akhirnya merugikan penonton itu sendiri. “Kita perlu ekosistem yang seimbang agar industri kita bisa terus maju dan menghasilkan karya-karya yang bervariasi,” tambah Benni.

Oleh karena itu, Benni Setiawan mendesak adanya dialog yang lebih terbuka dan konstruktif antara jaringan bioskop dan para pembuat film. Ia berharap ada kesepahaman bersama yang dapat menciptakan kebijakan yang adil dan mendukung pertumbuhan seluruh ekosistem perfilman Indonesia, tidak hanya dari sisi bisnis bioskop, melainkan juga dari sisi produksi konten lokal yang menjadi tulang punggung industri.

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *