Sukamta: Wacana ‘Satu Orang Satu Akun’ Medsos Butuh Kajian Komprehensif

Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Sukamta, kembali menyoroti wacana “satu orang satu akun” untuk penggunaan media sosial yang belakangan ini mengemuka di ruang publik. Menurutnya, ide tersebut, meskipun berpotensi membawa dampak positif dalam menertibkan ekosistem digital, memerlukan kajian yang sangat mendalam dan komprehensif dari berbagai sudut pandang sebelum dapat diimplementasikan. Tanpa kajian yang matang, potensi masalah baru bisa saja timbul.

Sukamta menekankan bahwa Komisi I DPR RI, yang memiliki fokus pada bidang pertahanan, luar negeri, komunikasi, dan informatika, akan secara cermat mengawasi setiap perkembangan terkait wacana ini. Pertimbangan utama adalah bagaimana sebuah kebijakan dapat diterapkan tanpa mengorbankan hak-hak dasar warga negara, seperti privasi dan kebebasan berekspresi, yang telah dijamin oleh konstitusi.

Salah satu aspek krusial yang perlu ditelaah adalah dampak terhadap privasi data pengguna. Penerapan kebijakan “satu orang satu akun” berarti setiap akun akan terhubung langsung dengan identitas asli pengguna. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai keamanan data, potensi penyalahgunaan, dan perlindungan individu dari pengawasan yang berlebihan oleh pihak manapun, baik itu pemerintah maupun pihak ketiga.

Di sisi lain, Sukamta mengakui bahwa wacana ini muncul sebagai respons terhadap maraknya penyebaran hoaks, disinformasi, dan tindakan perundungan siber yang kerap dilakukan oleh akun-akun anonim. Dengan identitas tunggal, diharapkan akuntabilitas pengguna akan meningkat, sehingga dapat menekan praktik-praktik negatif tersebut dan menciptakan ruang digital yang lebih sehat.

Namun, tantangan teknis dalam implementasinya juga tidak bisa diremehkan. Bagaimana sistem verifikasi identitas akan dibangun? Apakah platform media sosial global akan bersedia untuk mematuhi regulasi domestik semacam ini? Serta, bagaimana negara akan memastikan bahwa data identitas yang dikumpulkan tidak disalahgunakan untuk kepentingan di luar penertiban ruang digital? Semua pertanyaan ini memerlukan jawaban yang jelas.

Oleh karena itu, Sukamta mendorong pemerintah dan pembuat kebijakan untuk melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk ahli teknologi informasi, hukum, privasi data, hingga perwakilan masyarakat sipil, dalam proses pengkajian. Dialog terbuka dan partisipasi publik dianggap esensial untuk menemukan solusi terbaik yang seimbang antara keamanan digital dan perlindungan hak asasi manusia.

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *